Tuesday, May 17, 2011

Fifth : Flash Back (1)

Penanda waktu : Kira-kira 4 tahun yang lalu - setelah peristiwa Astoria
Baca : Betsuhana 19, 20, 21, dan 22 (synopsisnya bisa dibaca
di website milik seorang penggemar fanatik topeng kaca,
yang mengilhami saya menulis di blog ini yaitu di
http://www.topengkacaku.com)

Koji duduk terpekur di tempat tidurnya. Dia memandangi dengan sebal kakinya yang terbungkus gips. Juga lengannya. Perasaan tak berdaya yang membuatnya ingin menjerit. Rasa frustrasi memenuhi dadanya membuatnya ingin berteriak menjeritkan nama Maya, karena gadis itulah penyebab segala penderitaannya. Tak cukup dengan sikapnya yang tidak tegas, gadis itu juga telah menyebabkan kecelakaan yang dideritanya yang berujung dirinya akan kehilangan perannya sebagai Isshin, karena diperkirakan dia belum akan sembuh saat uji coba Bidadari Merah diselenggarakan nanti. Koji merasa sangat terkhianati. Masih terbayang di matanya saat Maya nampak mesra dengan Pak Masumi Hayami saat mereka melangkah keluar dari Astoria. Saat Pak Masumi menganjurkan Maya untuk pulang bersama Koji, gadis itu malah berlari menyusul Pak Masumi. Koji yang shock melarikan motornya dengan gelap mata, hingga saat sadar dirinya terbaring di rumah sakit.

Masih diingatnya denga jelas kata-kata Pak Kuronuma tempo hari saat dia memaksakan diri ke gedung tempat mereka latihan, Kids. Bahwa dengan sangat terpaksa Pak Kuronuma harus mencari pengganti Koji untuk memerankan Isshin, karena luka-luka Koji dipastikan oleh dokter belum akan pulih saat pementasa uji coba berlangsung. Saat itu juga dunia Koji serasa runtuh. Dan lebih menyakitkan lagi Maya sama sekali tidak berusaha menemuinya. Gadis itu hanya berada di kejauhan, berusaha bersembunyi di balik pemain-pemain lain. Memang rasa sakit hati Koji membuat pemuda itu sepanjang kunjungannya ke studio tak mengacuhkan Maya. Namun setidaknya dia berharap Maya berusaha mendekat, hal yang sama sekali tak dilakukan gadis itu. Gadis yang dicintainya, yang ditunggunya sekian lama. Selama ini Koji memaklumi bahwa hasrat Maya hanyalah tertuju pada dunia akting semata, tak menyisakan untuk yang lain. Bagi Koji selama dia bisa berada satu panggung dengan Maya, hatinya sudah bahagia. Dengan sabar ditunggunya kesempata Maya akan membuka hati untuknya dan menerima cintanya. Namun tidak hanya tak peduli dengan perasaannya, Maya justru menghabiskan malam itu di kapal Astoria dengan Pak Masumi Hayami, sang direktur kesenian Daito, lelaki yang telah banyak menyebabkan penderitaan Maya dan teaternya. Melihat wajah keduanya, Koji merasa ada sesuatu yang sangat pribadi di antara mereka berdua. Hal itulah yang membuatnya marah, cemburu, dan merasa sangat dikhianati. Sungguh teganya Maya melakukan hal itu kepadanya!

Suara pintu kamar Koji terbuka. Mungkin dokter atau perawat, pikir Koji lelah sambil kembali memejamkan mata. Ibu dan adiknya baru pulang sekitar setengah jam lalu. Tak ada siapa-siapa yang diharapkan Koji akan datang menjenguknya. Teman-teman teaternya biasanya baru akan datang saat mereka selesai latihan. Saat langkah-langkah kaki itu semakin dekat, Koji membuka matanya. Tampak Maya berdiri di tepi tempat tidurnya, bibirnya bergetar sementara air mata membanjiri kedua pipinya.

“Koji...maafkan aku,” kata Maya lirih.

Koji menatap Maya. Betapa ingin dia membenci gadis yang telah mempermainkan hatinya itu. Tapi melihatnya begitu, hati Koji luluh.

“Maya, akhirnya kau datang juga.”

“Aku selalu datang, Koji, aku menungguimu saat kau tidak sadar. Namun saat kau sadar aku tidak berani mendekat, aku takut akan kemarahanmu,” Maya menundukkan kepalanya. Air matanya tak berhenti mengalir.

Melihat kesedihan gadis itu Koji menjadi tak tega.“Sudahlah, Maya, semua toh sudah terjadi,” kata Koji pahit.

“Kamu selalu baik padaku, Koji, padahal aku tak layak menerimanya. Aku sangat menyesal kenapa tak menuruti saran Pak Masumi untuk pulang bersamamu. Seandainya saat itu aku menurut dan tidak kembali ke Astoria, pasti ini semua tak terjadi.”
Mendengar nama lelaki itu disebut-sebut oleh Maya, hati Koji kembali perih. “Apa yang kau lakukan di kapal itu dengan Pak Masumi, Maya? Apakah dia mulai merayu dan meracuni pikiranmu? Kau tahu kan tujuan orang itu semata-mata hanyalah merebut hak pementasa Bidadari Merah?”

“Koji! Apapun yang kami lakukan, Pak Masumi tak serendah itu!” bantah Maya keras.
Koji terkejut mendengar pembelaan Maya. Hatinya semakin panas. “Kalau tidak ada apa-apa, kenapa kau tak mau menjelaskan apa yang kalian lakukan disana?”

“Itu bukan urusanmu, Koji! Kau hanyalah lawan mainku, bukan kekasihku!”

“Maya!”

“Dengarkan aku Koji, apapun yang kami lakukan di Astroria sama sekali tak ada hubungannya dengan kamu ataupun pementasan Bidadari Merah. Harusnya saat ini kau berupaya keras untuk cepat sembuh dari luka-lukamu, bukannya malah cengeng dan mengasihani diri sendiri. Kalau memang begitu saja tekadmu untuk menjadi Isshin, maka kau tak layak untuk memerankannya. Bu Mayuko pasti menyesal memilihmu,” Maya memalingkan wajahnya. Sebetulnya dia benar-benar tak tega mengatakan kata-kata keras itu pada Koji, tapi hal itu semata dia lakukan demi Koji, sahabatnya yang selama ini begitu baik padanya. Maya sudah mengalami pendidikan keras tanpa kenal ampun dari Bu Mayuko, pendidikan itulah yang membentuk Maya menjadi seperti sekarang ini.

Koji melongo mendengar kata-kata Maya.

“Koji, kau harus bangkit, kau harus melawan luka-lukamu, jangan biarkan orang lain merebut peran Isshin darimu. Kau telah berjuang begitu lama, Koji. Tunjukkan pada Pak Kuronuma, tunjukkan pada Dewan Kesenian bahwa kau memang layak.”

“Maya...”

“Jangan khawatir Koji, aku akan membantumu sekuat tenaga karena kau adalah Isshinku di atas panggung.”

***

Sementara itu di beranda sebuah kamar privat di rumah sakit swasta mahal di Tokyo, Masumi duduk sendiri sambil mengisap rokoknya, entah batang yang keberapa. Untuk pertama kali dia benar-benar merasa terpojok. Di dalam kamar itu, Shiori sedang terbaring lemah setelah kehilangan banyak darah akibat usaha bunuh dirinya setelah Masumi mengakui kepada gadis itu bahwa Maya lah yang dia cintai, dan bukan Shiori. Merasa berdosakah Masumi? Anehnya, sisi hatinya yang gelap dan dingin tak merasa berdosa sama sekali. Orang harus hidup menghadapi pilihan dan mencari keuntungan, dan Shiori telah memilih jalan itu. Namun hatinya gundah manakala mengingat Maya. Gadis mungil itu sepertinya mulai merasakan sesuatu yang istimewa terhadap Masumi. Masumi bagai gila mengingat bagaimana tubuh mungil dan lembut itu memeluknya erat-erat. Bagaimana degub jantung mereka saling beradu saat gadis itu dalam rengkuhannya, ah...Maya, sampai kapankah aku harus menahan perasaan ini?

Pada akhirnya Masumi memang harus memutuskan prioritas paling utama dalam hidupnya.
Sepanjang masa remaja dan dewasanya dia telah dididik untuk menjadi penerus Eisuke Hayami, lelaki berdarah dingin pemilik Daito. Masumi bekerja teramat keras demi memenuhi targetnya yang sangat tinggi. Masumi tak pernah menggunakan perasaan demi mencapai tujuannya. Keras dan dingin, gila kerja dan tak kenal kompromi, semua atribut itu melekat erat pada citra Masumi. Dengan tangan besi Masumi membesarkan divisi seni dan hiburan hingga menjadi salah satu perusahaan hiburan yang sangat disegani di Jepang. Bahkan Masumi sudah pula merambah ke dunia hiburan internasional. Masumi tahu, meski tak pernah mengucapkannya, Eisuke telah sangat bangga padanya. Di usianya yang sudah senja dan kondisi fisik yang tak lagi prima, Eisuke mulai memindahkan bebannya ke pundak Masumi.

Perlu waktu yang lama dan proses yang teramat menyakitkan bagi Masumi untuk mencapai posisi seperti yang sekarang ini. Eisuke Hayami bukanlah orang penyayang, dia orang dingin yang keji dan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya. Namun, apakah Masumi akan menyerah begitu saja bila segala usaha dan kerja kerasnya selama ini hancur gara-gara perempuan seperti Shiori? Kepribadian Shiori sedikit demi sedikit mulai terkuak. Kehalusan budi dan penampilannya selama ini hanyalah hasil polesan sekolah putri mahal yang mendidiknya selama ini untuk menyembunyikan kelicikan dan keserakahannya. Melihat Shiori Masumi seperti bercermin pada dirinya sendiri, karena sedikit banyak ternyata mereka setype, apapun akan dilakukan agar tujuannya tercapai. Hanya saja caranya berbeda.

Begitu dalamkah cinta Shiori pada Masumi? Masumi ragu. Orang yang mencintai tak akan membuat orang yang dicintainya menderita. Orang yang mencintai akan berusaha membuat orang yang dicintai bahagia, tanpa mempedulikan kebahagiaannya sendiri. Dalam cinta ada pengorbanan. Masumi sangat faham akan hal itu. Sedangkan Shiori, gadis tak lebih dari gadis egois yang tidak bisa membedakan antara cinta dan obsesi. Perilakunya yang menghancurkan semua foto-foto Maya yang disimpan Masumi di vilanya di Izu, juga kelicikannya dalam memfitnah Maya, usahanya menyewa tukang pukul untuk menghabisi Maya, hingga cek yang diberikan pada Maya sebagai suap agar Maya menjauhi Masumi. Masumi tak tahu lagi akal apa lagi yang akan digunakan Shiori untuk menyingkirkan Maya.

Suara pintu terbuka pelan dan seorang perawat keluar. “Pak Hayami, Nona Takamiya sudah bangun dan mencari Anda.”

Masumi bangkit dari kursinya, membenamkan puntung rokoknya di asbak, dan melangkah gontai memasuki ruangan. Shiori tampak lemah dan pucat. Rambut hitamnya yang panjang tergerai kusut di atas bantal. Bibirnya pucat, wajahnya sedih. Tapi Masumi sudah tidak punya rasa belas kasihan sama sekali pada wanita itu.

“Keluargamu memintaku menunggumu di sini. Sudah kulakukan. Apalagi maumu?” tanyanya dingin.

“Masumi, jangan seperti itu,” keluh Shiori lemah. “Kita sepasang kekasih kan? Paling tidak tunjukkanlah simpatimu terhadap kondisiku. ”

Masumi tersenyum pahit. “Cepatlah Shiori, setelah itu kita akan membuat negosiasi,” katanya datar, “Aku akan pulang, besok aku akan datang lagi,” dengan kata-kata itu Masumi melangkah keluar.

***

Beberapa saat kemudian Masumi menghentikan mobilnya di seberang halaman depan sebuah gedung apartemen sederhana. Setelah mematikan mesin, dia melangkah keluar dan duduk terpekur di kap depan mobilnya. Pandangannya tertuju pada lantai dua gedung itu, yang jendelanya saat ini sedang terang benderang. Masumi tahu bahwa Maya berada disana. Hatinya seperti menangis sedih pada ketidak-berdayaannya. Maya, maafkanlah aku bila satu-satunya cara untuk melindungimu hanyalah dengan menyakiti hatimu, tetapi asal kau tahu, bahwa mawar jingga di hatiku tak akan pernah layu, batinnya perih.

Tiba-tiba pintu depan gedung apartemen itu terbuka dan Maya keluar dari sana. Gadis itu telah mengenakan piyama dan sandal kamar, namun menutupinya dengan mantel panjang. Seperti mencari sesuatu tatapan matanya menangkap bayangan Masumi yang sedang duduk di kap depan mobilnya, segera gadis itu berlari menghampiri Masumi.

“Pak Masumi,” panggilnya setelah mendekat.

Masumi menegakkan tubuhnya, “Mungil,” diapun mendekati Maya. “Apa yang kau lakukan malam-malam begini?”

“Pak Masumi, saya membaca tentang Nona Takamiya di surat kabar, saya turut sedih,” kata Maya tanpa disangka-sangka.

Masumi menggertakkan gerahamnya, perasaan ingin membunuh Shiori begitu kental. “Tak perlu sedih atas dia, Mungil, dia akan baik-baik saja.”

“Pak Masumi kenapa berdiri di tempat gelap ini sendiri?”

Masumi memalingkan wajahnya. “Entahlah, Mungil, kau sendiri, kenapa malam-malam begini malah keluar? Bukankah ini sudah melewati jam tidurmu?”

“Saya tadi mendengar suara mobil berhenti, dan saya berharap Anda datang. Saat saya melihat lewat jendela, ternyata itu benar Anda, Pak Masumi,” Maya menjawab malu-malu.
Masumi menundukkan badannya hingga wajahnya sejajar dengan Maya. “Hmm...benarkah Mungil, bahwa kau mengharap kehadiranku?”

Maya menundukkan wajahnya. Andai mereka dalam penerangan yang cukup, pasti akan nampak sekali betapa wajah Maya memerah tersipu.

“Bagaimana kabar Sakurakoji, Maya? Apa yang akan terjadi dengan pementasan kalian bila dia belum juga sembuh?”

“Pak Kuronuma berencana mencari pengganti Koji, tetapi saya tadi menemui Koji, saya berjanji akan membantunya melawan luka-luka itu demi mementaskan Bidadari Merah.”
“Hubungan kalian dekat ya?” tanya Masumi getir, berusaha menekan rasa cemburu setiap kali Maya menyebutkan nama Sakurakoji.

“Dia sahabat saya yang paling baik, dia tetap mendampingi saya ketika Jane terancam gagal dipentaskan. Dan di atas panggung dia adalah Isshin bagi Akoya saya, Pak Masumi.”

“Di dunia nyata, siapa Isshinmu, Mungil?”

“Saya mencintai orang lain, Pak Masumi.”

Masumi terkejut mendengar jawaban lugas Maya.

“Pak Masumi, peristiwa di Astoria itu, saya tak akan pernah melupakannya.”

Maya, apakah artinya kau...Masumi tak berani meneruskan pikirannya. Ditatapnya gadis mungil sederhana di depannya itu. Ditahannya kuat-kata tangannya yang ingin meraih Maya dalam pelukannya. Matanya yang bening tanpa prasangka, wajahnya yang polos seolah tak tersentuh segala kebusukun dunia, Masumi merekam semuanya, dan menyimpannya dalam hati. Mungkin tak lama lagi kita tak bisa lagi bertemu seprti ini, namun Maya, apapun akan kulakukan untuk melindungimu, meski dengan nyawaku, tekadnya.

“Setelah ini pasti kamu akan sibuk sekali, Mungil, untuk mempersiapkan pementasan.”

“Iya, Pak Masumi, apalagi dengan sakitnya Koji, saya harus membantunya berlatih juga. Kami telah melalui begitu banyak hal hingga sampai ke saat ini, kami tak mau semua sia-sia.”

‘Kami’? Bahkan Maya sudah menyebutkan dirinya dan Koji sebagai ‘Kami’.

“Pak Masumi sendiri pasti juga tak akan punya waktu luang lagi, apalagi dengan sakitnya Nona Takamiya,” Maya menunduk sedih. Dia memang sudah menerima bila lelaki yang dicintainya itu akan memilih Shiori karena bagaimanapun mereka sangat sesuai. Namun tetap saja hatinya sakit setiap menyebutkan nama Shiori.

“Maya, kau ingat kan kalau aku mengundangmu ke villa di Izu?”

“Saya pikir Anda malah sudah melupakannya.”

“Melupakan? Tak akan pernah, Mungil.”

“Hah? Anda serius, Pak Masumi?”

“Aku tak pernah main-main dengan kata-kataku, Mungil. Sekarang terserah kamu, masih menerima tawaranku atau tidak.”

Tiba-tiba Maya mendekat dan memegangi mantel Masumi. “Saya mau, Pak Masumi,” katanya yakin.

“Aku akan mencari waktu yang tepat, Mungil. Sekarang kau masuklah kembali, udara sudah semakin dingin, lagipula kau perlu istirahat. Jangan sampai teman-temanmu khawatir karena selarut ini kau masih berkeliaran di luar.”

“Pak Masumi sendiri, harus langsung pulang dan beristirahat.”

“Kau mengkhawatirkan aku, Mungil?”

“Bukannya begitu, soalnya kalau Pak Masumi sakit, siapa lagi lawan saya bertengkar?” Maya bersungut-sungut.

Masumi terbahak, “Aku memang tak pernah kalah melawanmu, Mungil. Oke, aku akan segera pulang dan istirahat, aku janji,” Masumi mengangkat tangannya, pura-pura bersumpah.

Bagimana aku bisa tidur dengan nyenyak bila di kepalaku isinya Cuma kamu, Maya, batin Masumi.

***

Sore itu Masumi melangkah gontai memasuki kamar rumah sakit tempat Shiori dirawat. Melihat kehadirannya, wanita itu segera memerintahkan perawat meninggalkan mereka berdua. “Aku ingin berbicara berdua dengan tunanganku,” katanya terhadap gadis perawat, yang segera membungkuk dan meninggalkan ruangan.

Tunangan? Masumi membatin dengan sinis.

“Kau terlambat, Masumi!” tegurnya ketus saat Masumi duduk di kursi yang terletak di seberang tempat tidur.

“Hm?” Masumi menanggapi tanpa komentar lebih banyak.

“Jangan beralasan karena pekerjaan, Masumi, karena aku tahu pasti bahwa kakekku telah menelpon ayahmu untuk memberimu libur agar kau bisa merkonsentrasi menjagaku,” Shiori semakin berang. “Kau menemui Maya Kitajima semalam kan, Masumi?”

Mendengar nama Maya disebut, Masumi mendongakkan wajah menatap Shiori yang tengah duduk di tempat tidur dengan wajah membara penuh emosi.

“Kau tentunya sudah semakin membaik, Shiori, melihat kau bisa semarah itu. Aku senang.”

“Masumi! Berani benar kau memperlakukan aku seperti ini?” Shiori hampir histeris.

“Apalagi yang kau inginkan, Shiori? Kau telah memerintahkan mata-matamu untuk terus mengikuti seluruh aktifitasku. Kau juga telah membuat kakekmu menekan ayahku agar aku menjadi laki-laki yang bertanggung jawab dan menjagamu selama sakit. Itu sudah kulakukan. Apalagi maumu, Shiori?”

“Aku tak mau kau menemui gadis murahan itu lagi!” teriak Shiori histeris.

Masumi menahan diri untuk tidak menampar Shiori karena telah menyebut Maya sebagai gadis murahan. Emosi tidak bisa dilawan dengan emosi. Masumi mengingatkan diri untuk selalu berkepala dingin. Lagipula Shiori tak layak diladeni dengan serius. Maka alih-alih menjawab, Masumi malah meraih surat kabar yang tergeletak di meja dan membukanya.

Shiori melihat ketidak-pedulian Masumi semakin panas hatinya. Diraihnya cangkir di meja di samping tempat tidur dan dilemparnya dengan marah ke arah Masumi, yang dengan telak berhasil menghindar. Masumi pun segera menekan bel untuk memanggil perawat sementara Shiori mengamuk melemparkan benda-benda yang ada di dekatnya ke arah Masumi. Saat dua orang perawat muncul dari pintu, Masumi memberi instruksi singkat dan melangkah keluar.

“Kau akan merasakan akibatnya, Masumi! Keluargaku tidak akan membiarkan kau pergi begitu saja!” teriak Shiori histeris.

***

Malam itu Masumi memenuhi panggilan ayahnya. Lelaki tua yang kini harus berada di kursi roda itu tampak marah saat melihat putra angkatnya itu melangkah memasuki ruangan.

“Kali ini kesalahanmu sudah teramat fatal, Masumi. Hubungan bisnis yang pelan-pelan kita rintis dengan perusahaan Takamiya nyaris hancur berantakan gara-gara perilakumu!” Eisuke tampak sangat kesal.

“Hubungan bisnis itu belum terjadi, ayah,” jawab Masumi sambil menuang wishky yang terletak di meja. “Lagipula aku tidak berniat memutus hubungan bisnis, yang ingin kuputuskan adalah pertunanganku dengan Shiori Takamiya,” Masumi menenggak gelasnya. Cairan keemasan itu serasa membakar perutnya.

“Memutuskan pertunangan? Ha! Sejak kapan kau punya hak untuk menentukan sendiri nasibmu, Masumi? Ketika kau bersedia menjadi penerus Daito, saat itu pula masa depanmu sudah diatur demi kepentingan Daito. Ketika Daito memerintahkanmu menikah dengan Shiori Takamiya, maka kau tak punya hak untuk menolak, kecuali kau ingin melepas posisimu. Dan jangan mimpi hal itu akan mudah, karena aku yang telah banyak berinvestasi demi membesarkanmu menjadi seorang penerus akan membiarkan begitu saja hasil investasiku hancur berantakan! Dan jangan harap keluarga Takamiya akan berdiam diri saja setelah cucu kesayangan mereka kau lecehkan seperti itu. Pikirkan itu, Masumi! Aku tak tahu kenapa otakmu bisa tidak berfungsi seperti ini.”

“Aku orang yang tidak tepat untuknya, Ayah. Aku tak mencintainya, aku tak akan bisa mebahagiakannya.”

“Cinta? Ha? Siapa yang bilang semua ini tentang cinta? Kau tak punya kewajiban untuk mencintai Shiori, Masumi. Kau hanya perlu menikahinya dan mendapatkan kerja sama dengan perusahaan keluarganya, titik. Kau tak perlu pusing memikirkan kebahagiaannya. Gadis seperti dia sudah sangat paham dan sudah terbiasa dengan gaya hidup begitu. Untuk apa perempuan-perempuan kaya itu menghambur-hamburkan uangnya di luar negeri kalau bukan demi mencari kesenangan pribadi sementara suami-suami mereka sibuk bekerja dan punya simpanan perempuan di mana-mana? Pernikahan-pernikahan diantara keluarga kaya tak lebih dan tak kurang hanyalah pernikahan bisnis dan pernikahan politis. Kupikir kau tidak senaif itu, Masumi, mengaitkan pernikahan dengan hal konyol seperti cinta dan kebahagiaan.”

Wajah Masumi menggelap. Hatinya teramat sakit mendengar perkataan ayahnya. Betapa semua orang telah kehilangan nurani dan cinta kasih. Bukan hidup seperti ini yang ingin dijalaninya. Namun langkahnya secara tak sengaja telah terbimbing ke sana, tak ada lagi jalan kembali yang mudah. Apalagi bila harus menyangkut keselamatan Maya. Masumi takut sekali bila keluarga Takamiya akan melancarkan dendamnya kepada gadis polos yang tidak tahu apa-apa itu. Belum lagi bila harus menghadapi kemarahan dan dendam Eisuke Hayami yang tak segan-segan menghancurkan kehidupan musuh-musuhnya. Keluarga-keluarga kaya pemilik bisnis raksasa sudah sangat terbiasa mengatasi segala masalah dengan kekerasan tanpa belas kasihan. Barisan Yakuza telah siap di belakang mereka. Ketika menyerahkan dirinya kepada asuhan Eisuke Hayami, Masumi sudah mengetahui bahwa dia telah menyerahkan hidupnya ke tangan iblis. Saat itu Masumi tak keberatan karena tak ingin kematian ibunya yang menderita di bawah Eisuke Hayami akan sia-sia. Namun siapa yang sangka bahwa perjalanan hidupnya mempertemukannya dengan Maya Kitajima, gadis yang telah berhasil menjungkir-balikkan dunianya?

“Pokoknya begitu Shiori keluar dari rumah sakit, aku ingin kau segera mengatur pertemuan dua keluarga untuk membahas perkawinanmu, Masumi. Itu keputusan final!” dengan itu Eisuke mengakhiri pembicaraan mereka.

***

Seminggu telah berlalu dan Shiori telah kembali ke rumah meski dengan pengawasan ketat dari para dokter yang mendampinginya. Emosinya yang belum stabil sering meledak tiba-tiba. Setiap hari Masumi mengunjunginya, baik ketika di rumah sakit maupun di kediaman resmi keluarga Takamiya. Wajahnya datar dan gelap, tanpa ekspresi, membuat Shiori semakin marah. Masumi yang ingin ditemuinya adalah lelaki yang pertama mengencaninya, dengan senyumnya yang hangat dan perilaku tak tercela. Bukan lelaki dingin yang melihatnya tak lebih dari sebuah benda dan urusan bisnis. Kemarahan dan kecemburuan yang menggelegak membuatnya sering histeris. Dan informasi dari orang kepercayaannya yang mengatakan Masumi tak pernah menemui Maya Kitajima lagi tak juga melegakan Shiori. Shiori ingin Masumi hanya untuknya. Tapi setiap hari Masumi yang mengunjunginya hanyalah sebuah robot yang telah diprogram untuk datang membawa bunga dan aneka hantaran yang sama sekali jauh dari kesan tulus dan hangat. Bahkan senyumnya pun kaku dan dingin, hanya di bibir saja, tak menjangkau mata indahnya.

Namun Shiori cukup bisa bernafas lega ketika akhirnya rencana pertemuan dua keluarga yang membahas rencana pernikahan mereka berdua akan segera diselenggarakan.Keinginannya untuk mengikat Masumi Hayami dalam ikatan pernikahan akan segera terwujud dan Maya Kitajima silakan gigit jari, pikirnya puas.

***

Sakurakoji sedang dalam kondisi emosi terburuknya. Maya hampir frustrasi menemani pemuda itu berlatih. Setiap hari ada saja keluhannya yang membuat Maya menggertakkan gigi dengan tidak sabar. Tapi mereka sudah sampai sejauh ini. Apalagi meyakinkan Pak Kuronuma bahwa dia bisa mendampingi Sakurakoji berlatih bukanlah hal gampang.

Sekarang Maya selain harus berlatih di Studio Kids bersama pemain-pemain lain, juga harus banyak menghabiskan waktu di rumah sakit, selain berlatih bersama Sakurakoji, juga dia menemani pemuda itu melewati sesi phisiotherapy untuk memulihkan kakinya.

“Kau tak boleh meninggalkanku begitu saja, Maya, kau harus menemaniku hingga aku siap untuk ke pentas lagi,” demikian tuntut Sakurakoji.

Maya adalah gadis yang selalu berfikiran positif terhadap orang lain. Sikap manja dan egois Sakurakoji menurutnya karena saat ini pemuda itu sedang labil. Bila nanti telah sembuh Sakurakoji yang baik, lembut, dan penuh perhatian pasti akan kembali.

“Aku kok merasa kamu sedang dimanfaatkan, Maya,” komentar Rei.

“Kenapa begitu? Bukannya wajar kalau orang sakit itu biasanya bertingkah macam-macam?” tanya Maya polos.

“Hah, kamu ini payah. Otakmu yang bodoh itu pasti tak bisa membedakan mana tingka laku asli dan mana yang dibuat-buat,” keluh Rei. Sebenarnya dia penasaran sekali ingin tahu apa yang terjadi di malam kecelakaan itu, apalagi saat itu Maya tidak pulang semalaman.

Maya sedang mengupaskan apel untuk Koji ketika perawat datang menemuinya. “Ada seseorang yang ingin menemui anda, Nona Kitajima,” kata wanita itu.

Maya yang keheranan segera beranjak dari kursinya di samping tempat tidur Sakurakojioji. “Aku keluar dulu, Koji.”

Pemuda itu meski keberatan namun tak bisa berbuat apa-apa.

Maya melihat seorang lelaki setengah baya berseragam menunggunya di dekat pintu masuk. Melihat kedatangannya laki-laki itu segera membungkuk. “Saya datang menyampaikan pesan ini kepada Nona Kitajima,” katanya sambil menyerahkan sebentuk surat.

Maya yang masih terheran-heran menerimanya dengan ragu.

“Mohon dibaca sekarang, Nona, saya diperintahkan menunggu.”

Maya semakin heran. Dibukanya amplop itu. Di dalamnya adalah secarik kertas yang sepertinya dirobek dari sebuah agenda dengan logo Daito di pojok kiri atas.

Aku mengirimkan sopir untukmu dan aku menunggumu di Izu.
Masumi


Beberapa saat kemudian Maya menatap jalanan asing yang tak dikenalnya dalam perjalan ke Izu. Masih diingatnya dengan jelas ketika Koji marah dan protes ketika Maya meninggalkannya tanpa mau menjelaskan kemana dia pergi. Ah, Koji, maafkan aku, batinnya sedih. Karena mungkin ini pertemuannya yang terakhir dengan Pak Masumi. Maya telah membaca semua pemberitaan di surat kabar tentang rencana perkawinan Masumi dan Shiori. Hatinya sakit sekali, cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia tahu Masumi selalu baik padanya meski secara sembunyi-sembunyi. Bila dia sudah menikah dengan Shiori, akankah dia tetap menjadi Mawar Jingga, penggemarnya yang paling setia, dan lelaki yang paling dicintainya sepenuh hati? Tak terasa Maya menitikkan air mata. Malam ini Pak Masumi memenuhi janjinya, mengundangnya ke Izu. Mungkin ini sebuah pertanda dan ucapan selamat tinggal, pikirnya sedih. Namun sesedikit apapun kesempatan yang diberikan Masumi untuk bersama, Maya akan menerimanya dengan penuh rasa syukur, untuk kemudian mematri kenangan ini di sepanjang hidupnya.

***

Masumi duduk di teras villa di Izu, menatap matahari yang sudah condong ke barat. Bias-bias warna jingga memantul di air laut memberikan ketenangan bagi hatinya yang gundah. Sejuta persoalan seolah menghimpitnya hingga membuatnya tak bisa bernafas. Sekeras apapun dia berteriak mengungkapkan kepedihan hatinya, namun beban itu tak juga terangkat. Dia sudah muak dengan kehidupan kotor penuh kepura-puraan yang dijalaninya. Dibalik segala atribut yang selama ini melingkupinya, jauh di dasar hatinya Masumi tetaplah sosok hangat dan manusiawi, orang normal yang mendambakan kehidupan bahagia bersama orang yang dicintainya, bukan kehidupan seperti yang selama ini dijalaninya. Mungkin inilah hukuman yang harus dia terima karena telah menghancurkan kehidupan banyak orang demi meraih kesuksesan di Daito. Masumi merasa sangat hina dan kotor. Maka perempuan seperti Shiorilah yang cocok untuknya. Maya bukanlah takdirnya, ibarat dewi gadis itu terlalu polos dan suci untuknya. Tatapan mata beningnya yang jujur tanpa kepura-puraan, ucapannya yang selalu langsung dan terus terang, keluguan dan kemudaannya, kepolosannya, semua bukan untuknya. Hidupnya yang penuh dosa tak layak untuk mencintai seorang dewi, pikirnya pahit. Hari ini mungkin terakhir kalinya Masumi bisa menikmati waktu berduaan dengan Maya. Setelah ini, segala hal yang berkaitan dengan Maya harus dilupakannya, demi kebaikan gadis itu sendiri.

Diliriknya jam tangan mahal tipis di pergelangan tangannya. Bila semua berjalan sesuai rencana, tak lama lagi Maya pasti akan tiba. Masumi seolah telah memindah gunung dan lautan demi sampai ke sini tanpa diikuti mata-mata Shiori. Dia terpaksa menyamar dengan menggunakan mobil yang disediakan Hijiri yang diparkir di tempat parkir khusus security di basement gedung kantornya. Sementara mobilnya sendiri masih berada di tempat dia meninggalkannya tadi pagi. Bahkan satpam yang berjaga pun tak mengenali ketika Masumi, dengan mengenakan kacamata hitam, topi bisbol, dan memakai jacket sport, melewati pos penjagaan ketika keluar area gedung. Sementara untuk Maya, Hijiri telah memesan mobil dan sopir khusus yang tidak berlambang Daito.

Tak lama kemudian suara kendaraan terdengar memasuki halaman villa. Masumi segera berdiri dan melangkah keluar menyambutnya.

Maya mengamati villa Masumi dengan keheranan. Untuk ukuran orang dengan posisi setinggi Masumi, villa ini sangat sederhana, berbeda dengan villa yang digunakannya untuk berlatih Helen Keller dulu. Saat dilihatnya Masumi keluar dari villa untuk melanjutnya, Maya seraya ingin berlari dan menghambur ke pelukannya. Namun ditahannya keinginan itu. Masumi milik Shiori, begitu selalu yang diingatnya. Lelaki itu sudah menjadi milik wanita lain, kesempatan saat ini hanyalah kesempatan sesaat yang dipinjamkan kepadanya.

“Pak Masumi!”

“Maya, selamat datang! Masuklah!”

Masumi mendekat. Melihat Maya hanya membawa tas tangan kecil, diraihnya tangan gadis itu dan digandengnya memasuki villa. Sementara sopir yang mengantar Maya hanya membungkuk sebentar dan mengucapkan salam pamit.

“Terima kasih, Paman!” teriak Maya riang, membuat lelaki itu cukup terkejut dan buru-buru menoleh dan membungkuk lagi ke arah Maya.

Masumi tertawa melihat kelakuan Maya. Dibimbingnya gadis itu memasuki villa.

“Villa Anda cukup sederhana, tapi nyaman sekali,” Maya mengomentari furniture dalam ruangan villa yang meski sederhana, namun terlihat nyaman dan mengundang, juga terasa hangat dan bersahabat, bukan villa mewah yang mengintimidasi pengunjungnya dan membuat kecil hati. “Saya suka sekali, Pak Masumi.”

“Aku senang kalau kau menyukainya,” Masumi melangkah menghampiri lemari pendingin. “Minuman apa yang kau inginkan, Mungil? Cola? Sari buah?”

Maya mendekat ke arah Masumi. Melongokkan kepalanya mengamati deretan minuman dan meraih sekaleng sari buah jeruk. Masumi tertawa lagi. Keceriaan Maya seolah menular kepadanya, membuatnya gembira. Dipandanginya Maya dari ujung kepala ke ujung kaki. Gadis itu berpakaian santai seperti halnya gadis remaja lain. Celana pendeknya yang berwarna khaki membuat kakinya terlihat panjang. T-shirtnya yang berwarna putih dengan motif strawberry yang ceria membuat Masumi kembali mengingat betapa jauh jarak umur di antara mereka. Sementara rambutnya hanya di tahan oleh bando sederhana tanpa motif berwarna merah.

Dengan membawa minuman masing-masing, Masumi mengajak Maya duduk di beranda belakang yang memandang lautan.

“Inilah tempat persembunyianku, Maya. Aku selalu ke sini bila sedang banyak masalah.”

Maya memandang lelaki tampan di sampingnya. “Apakah Anda sedang banyak masalah saat ini, Pak Masumi?” tanyanya.

“Begitulah. Masalah selalu bertumpuk dan membelit hingga membuatku ingin melarikan diri ke sini. Kau tidak keberatan kan menemaniku hari ini?”

Maya menggeleng. “Tidak, saya senang karena berkesempatan mengenal sisi kepribadian Pak Masumi yang lain.”

“Jangan terlalu berharap, Mungil. Saat kau mengenal sisi kepribadianku yang lain, aku khawatir kau akan kecewa karena tidak ada kebaikan sedikitpun di dalamnya.”
“Saya tidak percaya itu, Pak.”

“Wah, kamu memang keras kepala. Jangan bilang aku belum memperingatkanmu lho ya,” Masumi menggerak-gerakkan jarinya di depan wajah Maya dengan jenaka.
aya
Maya tertawa. Pak Masumi, kalau Anda begini terus, bagaimana saya bisa meninggalkan Anda? Pikirnya sedih.

***

Saat senja menjelang, Masumi mengajak Maya berjalan menyusuri pantai. Kaki-kaki telanjang mereka membentuk jejak di atas pasir lembut dan hangat di sepanjang garis pantai. Beberapa kali mereka menangkap kepiting-kepiting kecil yang banyak terdapat di sepanjang pantai itu untuk kemudian melepaskannya lagi. Beberapa kali mereka saling mendorong. Maya sempat terjatuh ke air. Namun gadis itu tak mau basah sendirian. Maka ditariknya Masumi untuk ikut jatuh bersamanya. Mereka juga saling menciprati air dan berkejaran seperti anak kecil. Sekali Masumi terjatuh ke air ketika sedang berusaha menangkap Maya hingga keduanya jatuh berbarengan. Namun dengan sigap Masumi menempatkan dirinya di bawah, melindungi Maya agar tidak jatuh langsung ke tanah. Akibatnya keduanya bertindihan dengan posisi Maya berada di atas Masumi. Sesaat keduanya tertegun. Debar jantung keduanya yang saling berhimpitan bertalu-talu menembus lapis-lapis pakain yang mereka kenakan. Suasana seolah tersihir. Keduanya saling bertatapan. Namun Masumi yang terlebih dulu tersadar.Segera dia bangkit dan menolong Maya. Tangangya sedikit gemetar ketika meraih gadis itu. Sedangkan Maya tak kalah malunya. Wajahnya merah padam terbakar malu.

Namun lepas dari itu semuanya keduanya merasa sangat berbahagia. Tak perlu pembicaraan yang serius, mereka hanya saling menikmati kehadiran satu sama lain. Tak perlu dipertanyakan, keduanya sama-sama tahu bahwa masalah besar telah menjelang di depan mereka. Namun untuk saat ini keduanya ingin melupakan semuanya, walau sejenak.

Malam telah menjelang ketika akhirnya mereka kembali ke dalam villa. Pakaian keduanya basah kuyup dengan kaki kotor penuh pasir. Namun wajah mereka tampak ceria dan bahagia. Masumi tak bisa menghitung berapa kali dia tertawa hari ini. Maya seoalah cahaya matahari yang menceriakan hari-harinya yang gelap. Ya Tuhan, berikan waktu lebih lama untuk bersamanya, untuk sekali ini saja, pintanya dalam hati.

Mereka mandi bergantian di kamar mandi yang cuman satu-satunya di villa itu. Karena Maya tidak membawa baju ganti, maka dia harus cukup puas mengenakan kaos tua Masumi, kenangan dari masa Universitasnya dulu. Kaos itu berbahan lembut dan beraroma seperti Masumi. Maya menciuminya dengan mesra sebelum mengenakannya.

Namun Masumi terbahak melihat penampilan Maya. Gadis itu tampak lucu dan menggemaskan mengenakan kaos tuanya yang panjangnya hampir mencapai lututnya. Tentu saja Maya cemberut ditertawakan begitu. Dengan sebal dipukulnya Masumi, membuat lelaki itu kian terbahak-bahak. Maya sendiri sedikit terpukau melihat penampilan santai Masumi. Dengan celana pendek dan kaos singlet, lelaki itu tampak seperti lelaki kebanyakan, rileks dan nyaman, bukan Masumi Hayami yang dingin dan angker. Bagaimanapun Maya menyukai sisi kepribadian Masumi yang seperti ini.

Untuk makan malam mereka memasak bersama. Di lemari pendingin tersimpan bahan-bahan untuk french fries dan burger. Segera Masumi mengeluarkan daging burger beku, lembaran keju, lettuce dan beberapa sayuran lain. Sementara Masumi menyiapkan wajan untuk memanggang burger Maya kebagian tugas membuat kentang goreng.

“Awas, jangan sampai hangus!” ancam Masumi, yang disambut dengusan sebal Maya.

Mereka memasak berdua dalam keakraban. Beberapa kali Maya menghanguskan kentang yang sedang digorengnya, yang membuat Masumi semakin gemas dan memencet hidung Maya sebagai hukuman. Akhirnya Masumi menyerah dan menyuruh Maya menyiapkan meja untuk makan dan mengambil alih semua tugas menyiapkan makanan sendiri. Yang disambut Maya dengan penuh harga diri. Gadis itu mengeluarkan minuman dari lemari pendingin. Bir dingin untuk Masumi dan soda untuk dirinya sendiri. Namun karena udara sudah mulai dingin, dia juga mulai menyalakan mesin pembuat kopi.

“Bintang di sini tampak indah ya, Pak Masumi?” komentar Maya. Saat itu setelah makan malam, mereka tengah duduk di beranda memandangi langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. “Saya jadi ingat lembah plum.”

Masumi meletakkan minumannya dan duduk mendekat ke arah Maya. “Bersandarlah kepadaku, Maya,” pintanya lembut.

Maya bergeser sejenak, merebahkan kepalanya di lengan Masumi, namun Masumi memeluknya di dadanya. “Kau tidak keberatan kan, Mungil?” tanyanya saat Maya sudah duduk rebah dengan nyama bersandar di dadanya dalam rengkuhannya.

Maya hanya menggeleng pelan. Masumi mencium aroma rambut Maya yang beraroma sama dengan rambutnya. Matanya terpejam menikmati kedekatan itu.

“Pak Masumi, apakah ini saat terakhir kita bisa bersama?” tanya Maya tiba-tiba.

“Sayangnya, iya, Mungil. Aku tak bisa berbohong dengan mengatakan bahwa kita akan ada kesempatan lain untuk bertemu.”

“Saya mengerti, Pak Masumi. Saya membaca semua berita tentang Anda dan Nona Shiori di surat kabar.”

Masumi memeluk Maya erat-erat. “Gadis itu, Shiori Takamiya, harus menikah dengan Masumi Hayami dari Daito,” katanya seolah membicarakan orang lain. “Masumi Hayami, sebagai kewajibannya karena menyandang nama Hayami, harus menjalankan perintah dan tugasnya sebagai direktur Daito untuk menjalani pernikahan yang akan menggabungkan kedua raksasa bisnis Daito dan Takamiya.”

Maya mendongakkan wajahnya, menatap lelaki yang sedang memeluknya. “Apakah Masumi Hayami mencintai Shiori Takamiya?” tanyanya.

“Pernikahan ini tak ada hubungannya dengan cinta,” jawab Masumi getir.

“Apakah Masumi Hayami akan bahagia?” suara Maya bergetar karena kesedihan yang membuncah di dadanya.

“Kebahagiaan hanya akan menjadi kata-kata yang ada dalam kamus, namun tidak ada dalam kehidupan Masumi Hayami.”

Air mata Maya tumpah membanjiri pipinya. Dia merasa sisi hatinya seolah dibunuh dengan kejam. Hatinya sakit membayangkan lelaki yang dicintainya akan menjalani kehidupan yang gelap dan kering. Dipeluknya Masumi dan menangis sejadi-jadinya di dada lelaki itu, menumpahkan segala kesedihan hatinya, sedih karena satu-satunya lelaki yang dicintainya dipaksa dengan kejam untuk menikah dengan wanita lain, juga sedih karena hatinya seakan berdarah kehilangan belahan jiwanya. Masumi balas memeluknya erat, menghirup keharuman rambut Maya, tanpa kata-kata dibelainya punggung gadis itu dengan lembut.

“Setelah ini Maya, mungkin kita tidak akan bisa melewatkan waktu bersama lagi. Kau punya kewajiban memerankan Bidadari Merah, kau punya kewajiban mendampingi Sakurakoji agar dia menjadi pasanganmu di pentas, sementara aku harus kembali ke kehidupan lamaku di Daito, bekerja keras mengembangkan perusahaan, menikahi Shiori, mengakuisisi Takamiya bila perlu, dan membuat ayahku bangga padaku. Tapi berjanjilah satu hal padaku, Maya, menangkanlah Hak Pementasan Bidadari Merah itu. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untukmu sendiri. Jadilah Bidadari Merah yang akan dikenang sepanjang masa, jadilah dewi yang akan membuat semua pria jatuh hati.”

Dalam deraian air mata, Maya mengangguk. Anda tahu Pak Masumi, mungkin dalam dunia nyata kita tidak bisa bersatu, tetapi di atas panggung Andalah roh yang akan menjadi spirit Bidadari Merahku, batin Maya.

Malam semakin larut, Maya tertidur dalam pelukan Masumi, terkuras emosi dan tenaganya. Masumi masih ingin menikmati kebersamaan ini lebih lama. Ingin merasakan kehangatnnya untuk terakhir kali. Dipandanginya wajah gadis yang tertidur dalam pelukannya, dan diciumnya bibirnya lembut. Mungkin aku tidak akan pernah punya kesempatan untuk menciummu dalam kondisi sadar, Maya, kalau memang hanya ini yang layak kudapatkan, aku akan menerimanya, batinnya.

2 comments:

  1. Thanks dah apdet,LANJUTKAAAAANNNNNN...XDD

    -fagustina-

    ReplyDelete
  2. trims banget ya....udah apdet,,,,,bagus bangett.........kapan,,,,lanjutannya.....selalu ditunggu

    ReplyDelete